Icon

Sistem Pelaporan Kekerasan Trisma

Sistem Pelaporan Kekerasan Trisma

WARNING

Materi yang akan disampaikan pada sesi ini dapat memunculkan respons emosional dikarenakan ingatan akan kejadian Kekerasan di masa lalu.

Kekerasan Seksual

MENU

Definisi Menurut Permendikbud

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Pasal 1, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan Pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia,ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.
Pasal 1, Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023

TAHUKAH ANDA?

Indikator yang menjadi penanda suatu tindakan sebagai kekerasan atau bukan adalah paksaan (pemaksaan kehendak).

KEKERASAN SEKSUAL efeknya paling besar, namun paling sulit dibuktikan.

Ketika Persetujuan Tidak Berlaku

Dalam hal penjelasan “persetujuan korban”, hal ini tidak berlaku jika korban sbb:

  • berusia anak, atau penyandang disabilitas.
  • mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya.
  • mengalami kondisi di bawah pengaruh obatobatan, alkohol, dan/atau narkoba.
  • mengalami sakit, tidak sadar, tidak berdaya, atau tertidur.
  • memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan.
  • mengalami kelumpuhan atau hambatan motoric sementara (tonic immobility).
  • mengalami kondisi terguncang.

Isu Seputar Kekerasan Seksual

Normalisasi terhadap pelecehan seksual

  • Kerap melontarkan humor yang merendahkan dan melecehkan
  • Menganggap korban over-reacting
  • Persepsi social

Pengungkapan (disclosure) merupakan keputusan sulit bagi korban

  • Kesenjangan relasi dan posisi
  • Minim informasi tentang Batasan
  • Tidak tahu harus melapor kemana
  • Takut laporannya tidak diterima dan dipercaya
  • Takut kehilangan kesempatan
  • Penundaan pelaporan (delay disclosure)

Intimidasi pasca pelaporan

  • Ancaman terhadap status
  • Intimidasi pimpinan
  • Tuntutan menjaga nama baik
  • Keberpihakan pimpinan terhadap pelaku
  • Stigma dan diskriminasi kepada korban/pelapor

Dalam pelaporan justru menyalahkan Korban (Victim blaming)

  • Menyesal telah melaporkan
  • Tidak diterima secara empatik
  • Dinilai dan dinasehati
  • Mengalami victim blaming
  • reviktimisasi

Stigma dan Ketidakadilan terhadap Korban

  • Kelumpuhan Sementara atau Tonic Immobility

    Korban kekerasan seksual seringkali dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami kelumpuhan sementara atau tonic immobility.

  • Menyalahkan Korban atau Victim Blaming

    Bila konsep kelumpuhan sementara atau tonic immobility tidak dipahami, dampaknya akan terjadi pada dua tingkat:

    • Internal:
      korban menyalahkan diri sendiri atau self blaming; dan
    • Eksternal:
      pihak lain menyalahkan korban atau victim blaming

  • Tuduhan Palsu atau False Accusation

    Selain fenomena masyarakat yang cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual, hal lain yang juga membuat banyak korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya adalah pandangan bahwa mereka melakukan tuduhan palsu.

    Banyak korban kekerasan seksual yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.

  • Pembebanan Korban

    Aparat Penegak Hukum membebani korban untuk mengumpulkan bukti dan mencari pasal untuk menindaklanjuti kasus atau yang lebih dikenal sebagai beban pembuktian.

    Masyarakat membebani korban untuk upaya pencegahan kekerasan seksual yang akan datang.

    Pengguna media sosial daring membebani korban untuk bersuara melalui fenomena “spill”.

  • Penyalahgunaan Wewenang

    Perbedaan identitas antara yang dimiliki korban dengan pelaku, memberikan kuasa yang berbeda bagi kedua belah pihak.

    Dengan kata lain, semakin banyak lapisan identitas minoritas atau rentan yang dimiliki seseorang, semakin banyak pula tekanan yang didapatkannya, sehingga ia tidak bisa memberikan persetujuannya dengan bebas.

Fakta dalam Kekerasan Seksual

Inses atau kekerasan seksual yg dilakukan oleh anggota keluarga menempati peringkat ketiga dalam pemetaan jenis kekerasan seksual yang paling sering terjadi di ranah privat, setelah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, dan Kekerasan Dalam Pacaran atau KDP.

Karena 5 teratas pakaian yang dikenakan korban, saat mengalami kekerasan seksual sebagai berikut

  • 18% menggunakan rok dan celana panjang
  • 17% menggunakan hijab
  • 16% menggunakan baju berlengan panjang
  • 14% menggunakan seragam sekolah
  • 14% menggunakan baju longgar
Sumber: Survei Pelecehan Seksual, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) 2019 melibatkan 62.224 responden.

Di tahun 2018, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi pada anak laki-laki, sebanyak 122 kasus (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

Kasus “Emon” di tahun 2014 (114 korban) dan WNA Prancis di tahun 2020 (300 korban) menunjukkan korbannya adalah anak laki-laki

Dampak Kekerasan Seksual Pada Pelajar

  • Menghambat pencapaian prestasi akademik atau karir korban
  • Korban kehilangan kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal
  • Korban berpotensi keluar sekolah sebelum waktu kelulusan
  • Pendidik dan tendik berpotensi kehilangan mata pencahariannya di dunia pendidikan
  • Mendiskreditkan posisi satuan pendidikan

Segala dampak tersebut berpotensi menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945

Jenis dan Bentuk Kekerasan Seksual

Pasal 5 Permendikbudristek PPKS

Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui TIK.

Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual


Pencegahan KS oleh lembaga pendidikan

  • Merumuskan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan.
  • Membentuk satuan tugas PPKS pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbudristek PPKS.
  • Menyusun pedoman / POS PPKS.
  • Pembatasan pertemuan warga kampus/sekolah di luar waktu operasional dan di luar area lembaga pendidikan. Tata cara pembatasan diatur melalui surat edaran lembaga pendidikan.
  • Menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual.
  • Melatih mahasiswa/siswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus/sekolah terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
  • Sosialisasi pedoman PPKS secara lain.
  • Memasang tanda informasi yang berisi: pencantuman layanan aduan kekerasan seksual, dan peringatan bahwa lembaga pendidikan tidak menoleransi kekerasan seksual
  • Menyediakan akomodasi yang layak bagi disabilitas.
  • Membuat pakta integritas bagi seluruh warga kampus/sekolah.
  • Melakukan kerja sama dengan instansi terkait PPKS.
  • Peningkatan infrastruktur mencakup penerangan, pemasangan CCTV, dan ruangan atau kantor yang terbuka atau yang bisa diakses dengan mudah oleh banyak pihak.


Pencegahan KS melalui Penguatan budaya komunitas

  • Sosialisasi PPKS pada pengenalan kehidupan lembaga pendidikan bagi mahasiswa/siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
  • Sosialisasi PPKS melalui Jaringan komunikasi mahasiswa/siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
  • Edukasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual melalui kegiatan seminar, webinar, diskusi publik, dan/atau aktivitas lainnya.


Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Individu

  • TIDAK MELAKUKAN KEKERASAN SEKSUAL
  • Berperan aktif dalam pencegahan kekerasan seksual
  • Mempelajari pedoman dan panduan PPKS
  • Mengikuti sosialisasi/seminar PPKS

8 Prinsip PPKS

Pasal 3 Permendikbudristek PPKS

1

Kepentingan Terbaik Bagi Korban

2

Keadilan dan Kesetaraan

3

Kesetaraan Hak dan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas

4

Akuntabilitas

5

Independen

6

Kehati-hatian

7

Konsisten

8

Jaminan Ketidakberulangan

Kepentingan terbaik bagi korban

Dalam aspek pencegahan, kepentingan terbaik korban merupakan langkah pencegahan berorientasi pada korban, yang bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi semua sivitas akademika, terutama bagi korban untuk tidak takut melaporkan kasusnya.

  • mekanisme pengaduan atau pelaporan yang aman.
  • sosialisasi layanan atau kanal pelaporan kekerasan seksual secara rutin.
  • memasang tanda peringatan “area bebas dari kekerasan seksual"
  • Memasang tanda lokasi dan kontak layanan aduan satuan tugas PPKS untuk melaporkan KS dengan aman.

Keadilan dan Kesetaraan

Pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi menerapkan nilai keadilan dan kesetaraan

  • Program pengenalan lingkungan perguruan tinggi/sekolah bagi mahasiswa/siswa baru, pendidik baru, tenaga kependidikan baru, dan warga kampus/sekolah baru.
  • Peningkatan kapasitas pendidik untuk menyampaikan materi perkuliahan/sekolah atau program orientasi
  • Jaminan penanganan yang penuh empati dan peka terhadap kemungkinan adanya ketimpangan relasi

Kesetaraan Hak dan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas

Pencegahan kekerasan seksual yang berprinsip pada kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi mahasiswa/siswa pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus dengan disabilitas.

  • mengintegrasikan perspektif disabilitas ke dalam mata kuliah/sekolah
  • sosialisasi layanan atau kanal pelaporan kekerasan seksual yang ramah akses disabilitas
  • menyediakan pedoman penanganan laporan kekerasan seksual yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas
  • menyediakan mekanisme koordinasi antara satuan tugas PPKS dan unit yang berfungsi memberikan layanan kepada penyandang disabilitas di perguruan tinggi/sekolah.

Akuntabilitas

Perguruan tinggi melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara akuntabel melalui:

  • penyediaan sumber daya yang memadai untuk penyelenggaraan kegiatankegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi/sekolah.
  • komunikasi dan koordinasi langkah-langkah atau proses penanganan yang akan diambil satuan tugas PPKS kepada korban.
  • penyampaian laporan tentang kegiatan pencegahan kekerasan seksual dan data status penanganan kekerasan seksual secara rutin kepada kementerian.
  • penyampaian laporan hasil pemantauan dan evaluasi pemimpin perguruan/sekolah tinggi setiap akhir semester

Independen

upaya pencegahan kekerasan seksual dilakukan secara independen, bebas dari pengaruh ataupun tekanan dari pihak mana pun

  • membangun sistem penanganan yang bebas dari pengaruh atau tekanan apa pun
  • mendorong terwujudnya sistem layanan terpadu yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi korban;
  • mengupayakan pelindungan bagi korban, saksi, dan pendamping korban

Kehati-hatian

Dalam aspek pencegahan kekerasan seksual, prinsip kehati-hatian perlu dilakukan dalam merancang kegiatan kampanye dan sosialisasi sebagai bagian dari upaya pencegahan.

Tujuannya adalah supaya narasi yang terbangun bukanlah pada pembatasan ruang gerak dan ekspresi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus, melainkan pada peningkatan kolaborasi pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Harapannya dapat tercipta suasana pelaksanaan tridarma yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan.

Konsisten

Konsisten berarti perguruan tinggi melakukan pencegahan kekerasan seksual secara sistematis dan rutin

  • Melakukan sosialisasi Permendikbudristek PPKS di lingkungan perguruan tinggi secara rutin.
  • Melakukan peningkatan kapasitas kepada seluruh sivitas akademikan dan warga kampus lainnya.
  • Kolaborasi antara jajaran pengelola perguruan tinggi dengan komunitas/ kelompok/organisasi yang sudah berpengalaman memberikan edukasi tentang kekerasan seksual dan/atau layanan pendampingan bagi korban di perguruan tinggi.
  • Mendorong sebanyak mungkin pendidik dan pejabat structural, anggota rektorat, dekanat, dan dewan guru besar, untuk aktif mengampanyekan antikekerasan seksual di perguruan tinggi.
  • Menguatkan satuan tugas PPKS untuk melaksanakan untuk melakukan tugasnya dengan sesuai prosedur.
  • Menjalankan survei kekerasan seksual bagi mahasiswa/siswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus/sekolah
  • Membuat perencanaan pengembangan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang dijalankan perguruan tinggi/sekolah
  • Memastikan korban kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat kembali memaksimalkan potensi dirinya dalam menempuh pendidikan atau menjalankan pekerjaannya dengan aman.

Jaminan Ketidakberulangan

Dalam pencegahan, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah keberulangan kasus antara lain:

  • Melakukan langkah-langkah peningkatan keamanan kampus/sekolah dari kekerasan seksual untuk mencegah keberulangan, termasuk dan tidak terbatas pada kegiatan penguatan pembelajaran dan tata kelola, budaya komunitas mahasiswa/siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan di perguruan tinggi/sekolah.
  • Memantau, mengevaluasi, serta terus meningkatkan kapasitas satuan tugas PPKS dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Prinsip Utama Membantu Korban

  • Dengarkan tanpa menghakimi apalagi menyalahkannya.
  • Tahanlah diri untuk memaksakan nasihat tanpa menanyakan kenyamanannya.
  • Beri tahu konsekuensi dari pilihan langkah yang ada.

Mari gerak bersama menciptakan lingkungan belajaryang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semuademi terwujudnya pendidikan yang kita cita-citakan.
#MerdekaBeragamSetara #Merdekadari3DosaBesarPendidikan